Selamat Tahun Baru
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Hanya dalam satu gerakan jarum jam, tahun pun berganti. Pergantian tahun mengingatkan kita bahwa kehidupan ini tidaklah kekal, tetapi senantiasa berubah. Segala fenomena di dunia ini tidak kekal adanya. Sabbe sankhara anicca. Ketidakkekalan menimbulkan suatu ketidakpastian, sehingga membuat orang bertanya-tanya. Tukang ramal mencoba mereka-reka mengenai suatu yang baik atau pun yang buruk di tahun yang baru itu. Tetapi bagaimanapun juga dengan segala ucapan selamat, semua orang berpengharapan baik selalu. Selamat Tahun Baru!
Mendoakan seseorang sukses, sejahtera, panjang umur, dan sebagainya, tentu tidak cuma karena memasuki Tahun Baru. Banyak kesempatan lain untuk menyampaikan ucapan selamat dan doa, bahkan pada masa kehidupan Buddha, ucapan semoga panjang umur, misalnya, ditujukan kepada orang yang bersin. Pada suatu ketika Buddha sendiri bersin. Murid-murid yang mengelilingi-Nya serempak berseru, “Semoga panjang umur, Guru.” Kegaduhan itu mengganggu penyampaian khotbah. Kemudian Buddha bertanya, apakah ucapan semoga panjang umur yang ditunjukan kepada orang bersin memberi pengaruh terhadap mati hidupnya orang itu? Mereka menjawab, tidak. Maka Buddha menganjurkan agar kata-kata itu tidak diucapkan lagi kepada orang yang bersin. Padahal masyarakat terbiasa dengan mengucapkan semoga panjang umur kepada orang yang bersin. Karena para biksu yang kebetulan bersin menjadi bingung jika menerima ucapan semoga panjang umur dari orang-orang lain sekitarnya, maka Buddha memberi petunjuk agar mereka menjawab, “Semoga engkau juga panjang umur.” Buddha melihat kebiasaan itu bermula dari ketakhayulan, lalu ia memberi penjelasan dan makna baru (reinterpretasi) untuk kebiasaan itu.[1]
Kita sering bertanya-tanya tentang masa depan, dan dengan cepatnya apa yang dipersoalkan itu sudah muncul di hadapan kita. Tahun lalu kita mengumandangkan Visit Indonesia Year 1991. Semua orang berbicara tentang akan melubernya wisatawan dan melonjaknya keuntungan dari bisnis pariwisata. Tahun 1991 pun sudah tiba, namun banyak orang yang masih berbicara tentang berbagai persiapan, sepertinya tahun belum berganti. Tahun lalu kita bertanya-tanya apakah Perang Teluk akan pecah? Sekarang kita masih menyimpan pertanyaan yang sama. Waktu sekejap demi sekejap berlalu pesat, ketika kita masih terpaku seolah-olah segala hal masih saja tetap sama. Waktu berjalan terus, kehidupan berubah terus. Bagaimana kita yang terpaku pada masa lalu dapat menghadapi kenyataan? Bagaimana kita siap menghadapi masa depan?
“Andaikata orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga waktu.”[2] Pesan ini dikemukakan oleh Buddha sehubungan dengan kasus sepasang mempelai dari keluarga istana yang masih bertingkah laku seperti anak kecil. Mereka menjadi dewasa secara fisik, namun bersifat kekanak-kanakan karena tidak mengembangkan kesadarannya dari waktu ke waktu. Orang-orang yang dikuasai oleh masa lalu tidak mampu menerima kenyataan. Satu-satunya kenyataan adalah apa yang sedang dihadapi saat sekarang. Bukan yang lalu, bukan yang akan datang.
Ada seorang wanita bangsawan yang menerima berita bahwa keluarganya mengalami malapetaka. Ketika itu ia sedang melayani para biksu. Tentu saja ia berduka, tetapi sedikit pun ia tidak menunjukkan kegelisahan di hadapan tamunya. Kebetulan seorang pelayan yang menyajikan makanan tidak berhati-hati sehingga terpeleset jatuh dan membuat pecah sebuah kendi. Sariputta, salah seorang biksu yang hadir mencoba menghibur tuan rumah dengan berkata, bahwa adalah wajar kiranya, pada suatu saat, semua barang pecah belah akan hancur. Wanita bangsawan tersebut menanggapinya dengan tenang, katanya, “Bhante, apalah artinya kehilangan barang sekecil itu? Baru saja aku mendapat kabar bahwa keluargaku terkena bencana. Aku dapat menerima berita itu dengan tenang, aku tetap melayani para bhante sekalian walaupun mendengar tentang peristiwa yang buruk itu.” Kasus ini menunjukkan bagaimana seorang yang mempertahankan kesadaran dan kewaspadaannya tidak kehilangan masa sekarang dan tidak tergoncang oleh kenyataan buruk yang harus dihadapinya.
Rahula, anak Buddha, sampai berusia depan belas tahun belum dapat memberi perhatian penuh pada kesadarannya. Ketika mengikuti perjalanan ayahnya dari Taman Jeta, pikirannya melayang-layang. Ia melamun, bagaimana jadinya dia seandainya sang ayah tidak meninggalkan istana, dan menjadi maharaja yang menguasai seluruh jagat raya. Bagi kebanyakan orang berkhayal memang bukan larangan. Tetapi Buddha yang membaca pikiran Rahula, menegur anak itu agar tidak terbuai oleh angan-angannya.[3]
Kita tidak hidup dengan berkhayal. Kita tidak cuma mengimpikan masa depan yang sesuai dengan harapan. Kalau kita menghendaki sesuatu yang lebih baik di masa datang, maka kita harus menentukan dan berbuat ke arah mana akan berubah.” Pembuat saluran air mengalirkan air ke mana dia sukai, pembuat panah meluruskan anak panahnya, tukang kayu melengkungkan batang kayu, sedangkan orang bijaksana mengarahkan dirinya sendiri.”[4]
2 Januari 1991
[1] Calla Vagga V
[2] Dhammapada 157
[3] Majjhima Nikaya 62
[4] Dhammapada 80