Semangat Kesahajaan Kathina
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hari Kathina merupakan salah satu hari raya umat Buddha. Tahun ini Kathina jatuh pada tanggal 18 Oktober, bersamaan dengan saat bulan purnama. Perayaan Kathina sendiri berlangsung selama satu bulan. Upacara dilakukan sesudah para anggota Sanggha, yaitu para biksu, selesai menjalani ‘Vassa-kala‘. Vassaberarti hujan. Pada musim hujan di India, sesuai dengan tata-tertib kebiksuan, para rahib menetap di suatu wihara selama 3 bulan penuh. Mereka memperdalam ilmu agama, melatih meditasi dan mengajarkan Dharma kepada umat yang mengunjunginya.
Bhikkhu, bhiksu, atau wiku menurut Kariyawasam, mengacu pada asal kata ‘bhaj’ dalam bahasa Sansekerta. Artinya mengharap bagian atau ikut serta, khususnya dalam hal memperoleh makanan. Para petapa atau rahib yang berkelana menerima sedekah makanan dari mereka yang hidup berumah-tangga. Tanpa memahami ajaran Buddha, seringkali para biksu yang tidak produktif ditinjau dari kegiatan duniawi dianggap sebagai beban masyarakat. Di pihak lain, ketika menghadapi kesulitan hidup, prihatin di tengah masalah sosial ekonomi, cara hidup yang asketis tak pelak lagi adalah keteladanan dari semangat kesahajaan.
Jalan ke Nirwana
“Terdapat satu jalan yang memberi keuntungan duniawi, dan terdapat pula jalan lain yang membawa ke Nirwana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seorang biksu siswa Buddha tidak berpesta dalam hal-hal duniawi, namun membaktikan dirinya dalam penyepian.”[1]
Buddha dengan tegas memisahkan kenyataan dunia yang maya dan kenyataan yang sejati. Dunia ini, walau khayal adanya, harus dihadapi. Umat yang hidup berumah-tangga menempuh jalan duniawi. Biksu mengambil jalan lain. Gambaran seorang biksu, apa pun mazhabnya, ditandai: kesahajaan, selibat, dan menghindari kekerasan. Memilih penghidupan sebagai biksu berarti meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan melepaskan segala harta duniawi. Begitu mencukur rambut dan mengenakan jubah kuning, ia merasa sejahtera dengan kebutuhan atau konsumsi yang minimal. Ia hanya membutuhkan makanan yang didapat sebagai sedekah umat, sandang, tempat berteduh, dan obat-obatan. Miliknya terbatas pada jubah, tasbih, mangkok makan, jarum dan benang untuk menisik, pisau cukur, dan saringan air minum.
Cara hidup semacam ini diperlukan untuk mengembangkan kesucian. Barangkali banyak orang berpendapat bahwa mustahil di tengah modernisasi masih ada tempat bagi mereka yang memilih hidup sederhana dan kontemplasi. Tetapi sepanjang manusia masih menerima kepercayaan adanya unsur rohani yang tidak sirna bersamaan dengan datangnya kematian, sepanjang merasakan kehadiran Tuhan Yang Mahaesa dalam unsur kehidupan, masih banyak orang mengikuti jejak Pangeran Siddhattha. Segala belenggu kemewahan justru ditinggalkannya agar mendapat Pencerahan. Paling tidak untuk sebagian waktu dari usia hidup di bumi ini. “Dengan meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah, demikianlah hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap dan mengembangkan keadaan yang terang. Hendaknya ia gemar akan penyepian yang sungguh sukar untuk dinikmati.”[2]
Ketika Sanggha terdiri dari 60 biksu yang ditahbiskan oleh Buddha sendiri, belum dibutuhkan adanya tata-tertib sebagaimana yang dikenal dengan Winaya sekarang. Mereka telah mencapai kesempurnaan dan dinamakan Arahat. Mereka tidak membutuhkan suatu organisasi yang formal. Setelah kelompok siswa membesar, dengan banyaknya biksu juga biksuni yang belum Arahat, peraturan demi peraturan mulai ditetapkan. Sekarang kita mengenal Peraturan Patimokkha bagi para rahib, yang terdiri dari 227 ketentuan menurut versi Pali, 250 menurut versi Cina, atau 253 dalam versi Tibet. Peraturan itu mengatur pantangan hubungan kelamin, mengambil sesuatu yang tidak diberi, membunuh, dan menipu tentang pencapaian kesaktian, yang tiada ampun bila dilanggar. Juga mengatur kegiatan sehari-hari, misalnya sopan-santun berpakaian, duduk, berjalan, makan, sampai tentang kebersihan. Setiap biksu wajib menyempurnakan dirinya sendiri, dan setelah kesempurnaan itu tercapai, ia merupakan utusan Buddha yang menyebar ke segala pelosok, bekerja untuk kesejahteraan orang banyak. Ia menjadi salah satu Permata dari “Tri Ratna”, yang terdiri dari Buddha, Dharma, dan Sanggha tempat umat berlindung.
“Meski orang membuang limbah cucian periuk atau bilasan mangkuk ke dalam sebuah tambak dan dengan itu mengharap agar makhluk yang hidup di dalamnya mendapatkan makanan, Aku nyatakan perbuatan ini pun merupakan sumber dari pahala kebajikan. Apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia. Namun Vaccha, Aku nyatakan bahwa dana yang diberikan kepada mereka yang tinggi budi, menghasilkan buah yang besar. Tidak sedemikian halnya bila diberikan kepada mereka yang tidak bermoral. Dengan tinggi budi Aku maksudkan ia yang telah menyingkirkan lima sifat buruk dan memiliki lima sifat luhur.” Demikian pernah disabdakan oleh Buddha kepada Vacchagotta. Lima sifat buruk itu adalah nafsu indra, dengki, malas, gelisah, serta ragu-ragu. Lima sifat luhur adalah sila, semadi, kebijaksanaan, pembebasan, dan pandangan Terang.[3]
Dalam upacara Kathina, umat mempersembahkan pakaian pahala (Kathina civara) dan perlengkapan tambahan (Parikara) kepada Sanggha. Anggota Sanggha dipandang tinggi budi atau setidak-tidaknya terdiri dari orang yang melatih diri. Buddha sangat menghargai Visakha misalnya, seorang ibu rumah-tangga yang banyak sekali menyokong Sanggha. Ia mendermakan jubah, baju mandi untuk biksuni, makanan, dan obat.[4]
Upacara penyerahan jubah itu sendiri dihubungkan dengan riwayat tiga puluh biksu dari Pava. Dalam perjalanan mereka terpaksa singgah di kota Saketa untuk menjalani masa vassa. Setelah 90 hari hujan tidak juga berhenti, mereka berjalan menembus hujan dengan tujuan menemui Buddha di Savatthi. Melihat para biksu yang basah kuyup lagi kotor, Buddha mengizinkan untuk mempersiapkan jubah baru.”[5] Maka dikenallah perintah Kathina yang menetapkan anggota Sanggha mendapat seperangkat pakaian baru setahun sekali. Umat pun mendapat kesempatan untuk menanam kebajikan.
22 Oktober 1986
[1] Dhammapada 75
[2] Dhammapada 87
[3] Anguttara Nikaya III, 6:57
[4] Mahavagga VIII, 15
[5] Mahavagga VII. 1