Sikap Bersahabat
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Sedikit atau banyak, kita merasakan dampak gempa dan tsunami di Jepang, termasuk ledakan reaktor nuklir di sana. Begitu pula konflik di negara mana saja, seperti Libya, pengaruhnya sampai ke Indonesia. Sebaliknya kejadian di dalam negeri kita, disadari atau tidak, dapat berpengaruh hingga ke segala penjuru dunia. Kehidupan itu adalah satu. Menurut Sutra Awatamsaka-sutra, seluruh dunia memengaruhi sebuah pori-pori. Sebuah pori-pori memengaruhi seluruh dunia. Seluruh makhluk hidup memengaruhi satu tubuh. Satu tubuh memengaruhi seluruh makhluk hidup.
Hidup berlangsung sepanjang kita bernapas. Dengan bernapas manusia terhubung satu sama lain seudara menjadi saudara. Siapa saja tidak bisa menolak untuk menghirup udara pernapasan dari sekelilingnya yang menerima embusan napas orang lain, sekalipun dia musuhnya. Kenapa kita tidak bisa selalu bersahabat dengan orang-orang di sekeliling kita?
Sahabat Sejati
Menghadapi bencana kemanusiaan sepertinya kita dipersatukan. Tidak ada sekat primordialisme dan SARA. Doa tidak dibatasi hanya untuk umat yang seagama. Semua bersahabat, tolong-menolong. Tentu saja kita tidak perlu menunggu sampai terkena bencana agar bisa bersaudara dengan yang lain. Cinta kasih hadir dengan ikut bersukacita atas kebahagiaan orang lain, ikut berduka melihat mereka yang menderita dan ingin agar orang lain bebas dari penderitaan.
Kita harus bisa memelihara kepentingan pihak lain secara adil. Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi diri sendiri dengan menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan bebas dari penderitaan, sebaliknya ia akan terjerat dalam kebencian (Dhp. 131). Karena itu kita mengagumi mereka yang di saat menderita masih bisa menunjukkan kesabaran dan berbagi dengan orang lain, bukan malah melakukan kekerasan atau penjarahan demi kepentingan sendiri. Dan di tengah kondisi itu pengusaha menurunkan harga jual dagangannya untuk menolong konsumen, bukan malah memanfaatkan kesempatan agar mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Dalam Sigalowada-sutta Buddha membedakan sahabat sejati dari sahabat palsu (D. III, 186-188). Sahabat sejati suka menolong, menjaga kawannya yang sedang tidak siaga, menjaga milik kawannya yang kebetulan lengah, melindunginya dari ancaman bahaya. Ia mengulurkan bantuan lebih dari yang diharapkan sang teman. Tidak hanya di waktu senang, di waktu susah seorang sahabat tetap setia tidak akan meninggalkan kawannya bahkan rela berkorban untuk membela teman. Dia tidak menyimpan rahasia sendiri, tetapi sebaliknya menjaga rahasia teman. Juga suka memberi nasihat, mengajak berbuat baik, mencegah perbuatan yang keliru, dan memperhatikan kepentingan teman. Sikap bersahabat timbul karena cinta yang tulus bagaikan seorang ibu menjaga anak kandungnya.
Sahabat palsu adalah musuh yang berpura-pura menjadi sahabat. Ia mencari sesuatu untuk diambil, memberi sedikit dan meminta banyak. Kalaupun ia melakukan kewajibannya sebagai teman, tidak lain karena ada yang ditakutinya atau atas dasar pamrih. Ucapannya tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Banyak bicara, namun tidak berbuat apa-apa. Pernyataannya yang bersahabat berkenaan dengan hal-hal yang telah lewat atau yang belum terjadi. Janjinya cuma omong kosong untuk mendapatkan simpati. Jika saat diperlukan ia menyatakan tidak sanggup membantu atau menghindar. Dia penjilat, di depan memuji, di belakang menjelek-jelekkan. Juga sesat dan suka berfoya-foya, berjudi, melacur, bermabuk-mabukan.
Melenyapkan Musuh
Dalam dunia politik dikatakan tidak ada pertemanan yang abadi, tidak ada juga musuh abadi. Politisi cuma mengenal apa yang disebut kepentingan atau manfaat. Situasi ini menimbulkan gonjang-ganjing sekretariat bersama parpol pendukung pemerintah dan kabinet yang tidak sepenuhnya presidensial. Sebagian orang mempertanyakan, sekretariat gabungan koalisi hadir untuk rakyat atau malah akan mengelabui rakyat. Bagaimanapun kita memerlukan pemerintah yang kuat dengan dukungan parlemen. Bersatu kita kuat, bercerai kita lemah. Sebatang lidi mudah dipatahkan, lain halnya jika sekumpulan lidi diikat menjadi satu.
Untuk memelihara persaudaraan Buddha memberi petunjuk berupa enam faktor yang membawa keharmonisan (A. III, 287). Keenam faktor itu adalah: berbuat atas dasar cinta, berkata atas dasar cinta, berpikir dan berniat baik atas dasar cinta, memberi kesempatan kepada orang lain untuk ikut menikmati keuntungan yang diperoleh secara halal, tidak melukai perasaan pihak lain, dan berpandangan bersih menghargai perbedaan pendapat.
Barangsiapa punya musuh, tidak akan hidup damai. Konon seorang kaisar bercita-cita ingin menaklukkan negara-negara tetangganya. Dia bisa melakukan invasi militer. Namun kaisar ini mengambil langkah lain. Dia malah mengundang musuh-musuhnya dan memberi hadiah kepada mereka. Kata kaisar itu, “Aku sudah melenyapkan musuh-musuhku, aku menjadikan mereka sahabatku.”
Menurut Buddha, seorang rajadiraja (cakrawarti) menguasai dunia bukan dengan pedang atau kekerasan, melainkan dengan kebenaran. Dia hidup dalam kebenaran, menjadikan kebenaran sebagai junjungannya, dan melindungi seluruh rakyat tanpa kecuali. Melindungi rakyat maksudnya tidak membiarkan orang hidup miskin, dan tidak membiarkan terjadinya kejahatan. Raja-raja negara bagian tunduk kepadanya sebagai sekutu atau sahabat yang setia (D. III, 59).
Jakarta, Maret 2011