Sinkretisme
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Menurut SGF Brandon, istilah sinkretisme mulanya dipergunakan oleh Plutarch, untuk menyatakan leburnya cara pemujaan agama yang terjadi di Yunani Romawi. Sinkretisme seringkali dipandang mewarnai penampilan agama Buddha di mana-mana.
Di Tibet peleburan dengan praktik Shaman yang disebut Bon telah melahirkan aliran Lama. Di Cina yang memiliki dua nabi sendiri, Confusius dan Laotse, dengan masuknya agama Buddha, muncul tiga agama yang membaur jadi satu. Di Jepang Buddha boleh bersekutu dengan dewa-dewa Shinto. Di negeri asalnya sendiri, India, agama Hindu menyerap banyak ajaran Buddha dan agama Buddha pun tumbuh semakin mirip dengan Hindu. Penyamaan antara dewa-dewa Siwa dengan Buddha banyak ditemukan pula di Jawa.
Hodgson di Nepal melihat adanya arca-arca bercorak Siwa yang ditempatkan di dalam kuil-kuil Buddha. Patung-patung Siwais itu diakui Buddhis tulen oleh para penganutnya. Ia menyatakan bahwa banyak simbol Siwais didukung oleh kitab-kitab kuno Buddhis, sehingga membenarkan pemakaian simbol tersebut dapat dipandang murni Buddhis. Menurutnya, tidaklah beralasan untuk membenarkan adanya percampuran, mengingat ajaran kedua itu berbeda seperti langit dan bumi. Tetapi mungkin saja suatu simbol mula-mula berasal agama Siwa, lalu diambil alih oleh agama Buddha.
Menurut Kern, Hodgson hanya tahu agama Buddha itu terbatas pada Mahayana. Aliran Utara ini justru terpengaruh sekali oleh Siwaisme, berbeda dengan aliran Selatan. Pada abad ke-7 para biarawan ortodoks di Orissa menganggap Mahayana sebagai bi’dah agama Siwa. Kern berpendapat ada percampuran antara agama Buddha dan Siwa di sana, demikian pula dengan di Jawa. Sampai berakhirnya zaman kerajaan Hindu, Jawa merupakan suatu negara dengan dua agama, yakni Siwa dan Buddha.
Ia menunjuk pada Kakawin Sutasoma yang bersumber dari naskah lontar Bali. Apa yang diceriterakan dalam karya tersebut walau menunjukkan adanya persamaan, tetapi jelas menyimpang dari Sutasoma yang dikenal dalam Kitab Suci Tipitaka. Penggubahnya, Tantular, menyatakan Buddha tak lain dari dewa Brahma-Wisnu-Iswara, Trimurti Hindu. Pada hakikatnya Siwa dan Buddha yang berbeda itu adalah satu: Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Karya Jawa lainnya, kitab Arjunawijaya juga menceritakan para biksu mengakui bahwa semua Buddha yang dibedakan menurut penjuru alam adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Kitab Kunjarakarna menyebutkan tiada seorang pun, apakah ia pengikut Siwa atau pengikut Buddha, yang bisa mencapai kesempurnaan jika ia memisahkan Siwa-Buddha yang sebenarnya satu. Kitab Negarakertagama mencatat upacara negara yang dihadiri oleh raja diselenggarakan bersama-sama oleh penganut kedua agama. Para pandita terdiri dari unsur Siwa dan Buddha. Keduanya tetap memiliki tempat peribadatan masing-masing. Ketika raja Wisnuwardhana dari Singasari wafat, ia dikekalkan sebagai Buddha Amoghapasa di Candi Jago atau Jayaghu, tetapi juga sebagai Siwa di Waleri.
Rassers melihat lebih jauh, Candi Jawi di Prigen merupakan tempat pemujaan baik untuk Siwa maupun Buddha sekaligus. Di Jawa Timur dan Bali kedua agama itu bercampur hingga membentuk suatu kesatuan, tetapi di samping itu secara aneh sekali masih mempertahankan kemerdekaan atau otonominya masing-masing. Sedikit pun mereka tidak bertentangan dan tidak bersaing. Rassers mengemukakan hubungan seperti itu timbul karena Siwa ataupun Buddha merupakan salah satu aspek saja dari satu agama yang tunggal, yang bersifat Jawa. Ia menunjuk kepada cerita Jawa kuna Bubuksah yang ditemukan terukir di Candi Penataran.
Bubuksah dan Gagang Aking adalah dua bersaudara yang bertapa di gunung Wilis. Gagang Aking yang sulung hanya makan tumbuh-tumbuhan seperlunya saja. Bubuksah memakan segala sesuatu, termasuk binatang yang tertangkap oleh jeratnya. Mereka berdebat tentang kedua bentuk pertapaan itu, tetapi tidak berhasil memengaruhi yang lain sehingga tetap mempertahankan cara hidupnya masing-masing. Untuk menetapkan siapa yang lebih unggul, Batara Guru mengutus dewa Kalawijaya dalam wujud seekor harimau putih yang akan menguji kedua bersaudara itu.
Mula-mula harimau itu mendatangi Gagang Aking dan meminta nyawanya demi pengukuhan sebagaimana petunjuk dewa. Petapa itu menganjurkan si harimau untuk mencari adiknya yang gemuk, karena tidak ada untungnya kalau dia yang kurus yang dimakan. Harimau itu pun pergi menemui Bubuksah. Berbeda dengan kakaknya, si bungsu ini dengan senang hati menyerahkan dirinya. Maka Bubuksah lulus ujian. Ia mendapat tempat di surga yang lebih terhormat daripada Gagang Aking.
Gagang Aking dianggap sebagai pengikut Siwa dan Bubuksah pengikut Buddha. Siwa dan Buddha dua bersaudara. Siwa yang sulung, tetapi Buddha dipandang lebih beruntung. Cerita yang menempatkan Buddha lebih unggul ini justru ditemukan dalam candi yang didirikan untuk memuliakan Siwa.
7 Februari 1990