Suksesi
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Seseorang menjadi kepala negara karena ada rakyat yang mengakui kepemimpinannya. Ia dapat memperoleh jabatannya melalui perjuangan dengan didukung atau dipilih oleh rakyat, atau mungkin pula menduduki takhta sebagai warisan dari pendahulunya. Penerusan kepemimpinan atau suksesi tidak mesti dipengaruhi oleh pandangan keagamaan, kecuali dalam tradisi Tibet yang memang unik.
Suksesi di Tibet tidak berdasarkan keturunan sebagaimana yang dianut dalam sistem monarki ataupun pemilihan umum dalam sistem demokrasi. Kepala negara yang sekaligus pula adalah pemimpin agama, Dalai Lama namanya, merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari pendahulunya. Suksesi di sini hanya terjadi setelah sang penguasa meninggal dunia. Ia digantikan oleh orang dari generasi yang berbeda. Sekalipun demikian, Dalai Lama dianggap tak lain dari orang yang sama, orang yang itu itu juga dengan wujud berbeda.
Berdasarkan kepercayaan pada tumimbal lahir, penentuan siapa yang menjadi Dalai Lama amat erat berhubungan dengan fenomena mistis. Berbagai kesaksian gaib, ramalan, dan ingatan pada masa kelahiran yang lampau sangat mewarnai proses suksesi tersebut. Pemilihan semacam ini mungkin saja ke luar dari batas kebangsaan, seperti yang telah terjadi pada pemilihan pengganti Dalai Lama lIII. Penerusnya berasal dari bangsa Mongol, bukan seorang Tibet. Belum lama ini diberitakan gejala serupa, Lama Yeshe, seorang pemimpin Lama terkemuka, dilahirkan kembali sebagai seorang bocah Spanyol.
Dalai Lama XIV yang pernah berkunjung ke Indonesia, dalam otobiografinya mengemukakan bagaimana ia terpilih menjadi pengganti Thupten Gyatso, Dalai Lama XIII.
Pada tahun 1933 Thupten Gyatso meninggal dunia. Jenasahnya didudukkan di atas singgasana dengan muka menghadap ke selatan, tetapi beberapa hari kemudian terlihat wajahnya menoleh ke arah timur. Konon pada sebuah tiang kayu di sebelah timur laut tiba-tiba muncul sebuah jamur besar berbentuk bintang. Di arah itu pula tampak awan berbentuk lain dari biasanya. Ke arah itulah orang mencari Dalai Lama yang baru. Dua tahun kemudian, setelah berdoa dan bersemadi wali negara melihat di permukaan air danau Lhamoi Latso, bayang-bayang tiga huruf Ah, Ka, dan Ma, yang diikuti gambaran wihara beratap hijau jade dan kuning emas warnanya serta sebuah rumah berlantai biru kehijauan. Orang-orang yang mencari ke arah timur menemukan biara Kumbum dan sebuah rumah di Desa Taktser yang mirip dengan penampakan tersebut. Di sana terdapat seorang anak laki-laki yang berusia dua tahun.
Anak kecil itu agaknya tidak asing dengan para Lama yang memasuki desa tersebut dengan menyamar. Ia dapat menyebutkan identitas mereka dan meminta tasbih yang dulunya milik Dalai Lama XIII. Selanjutnya ia diuji untuk memilih benda-benda yang pernah dipergunakan oleh Dalai Lama XIII. Misalnya antara lain ia memilih genderang yang kecil dan memukul dengan cara yang sama seperti mengiringi upacara, walau ada genderang lain yang lebih besar dan lebih menarik. Ada pula anak-anak lain yang dicalonkan dari tempat lain, tetapi hanya ia yang paling meyakinkan sebagai penjelmaan Dalai Lama. Huruf Ah dalam penampakan di danau Lhamoi Latso ditafsirkan Amdo, nama distrik tempat ditemukannya anak itu. Ka diartikan Kumbum, salah satu nama biara di sana, sesuai dengan gambaran biara yang dilihat wali negara. Atau Ka dan Ma dapat diartikan biara Karma Rolpai Dorje yang terletak di atas gunung di lokasi tersebut. Dalai Lama XIII pernah singgah di situ dan konon pernah pula menyatakan kekagumannya melihat rumah yang kemudian menjadi tempat ditemukannya anak kecil itu.
Proses suksesi tidak jarang diliputi intrik dan menimbulkan pertikaian atau perpecahan. Oleh karena itu diperlukan mekanisme kepemimpinan yang dihargai dan ditaati oleh semua orang dengan mengutamakan persatuan dan kepentingan bersama. Dalam tradisi Zen, dikenal perpecahan aliran utara yang dipengaruhi paham Yogacara dan aliran selatan yang dipengaruhi paham Madhyamika. Konin (Hung-jan), Patriarch V agaknya cenderung memihak pada pemikiran Madhyamika. la menguji calon-calon penggantinya secara terbuka, tetapi menyerahkan lambang kepemimpinan secara rahasia. Maka, perpecahan pun tak terelakkan. Pewarisan kepemimpinan bukanlah semacam pewarisan harta kekayaan. Apabila kepemimpinan diwariskan sebagai kekayaan, seperti yang dilakukan oleh Airlangga, negara pun pecah dibagi menjadi dua. Buddha sendiri tidak menunjuk ahli waris tetapi mengarahkan agar Dhamma (ajaran) dan Winaya (peraturan) yang dijadikan pedoman.
Negara R.I. bukan monarki. Maka, di negara ini tidak dikenal putra mahkota. Sebagai mandataris rakyat, presiden R.I. dipilih oleh rakyat, tepatnya MPR yang merupakan penjelmaan dari rakyat dan melaksanakan kedaulatan rakyat. Proses suksesi, sebagaimana dijelaskan oleh Presiden Soeharto, tidak lepas dari mekanisme kepemimpinan nasional. Kita memiliki pedoman berupa UUD ’45 dan Ketetapan-ketetapan MPR.
5 Juli 1989