Tahun Berwatak Kuda
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Konon karena kuda termasuk salah satu dari dua belas jenis binatang yang memenuhi panggilan Buddha, dua belas tahun sekali binatang ini berhak menguasai satu tahun kalender. Tanggal 27 Januari 1990 yang akan datang adalah hari pertama Tahun Kuda. Hari-hari yang akan datang itu adalah sesuatu yang tidak jelas benar, sehingga mereka-reka nasib selalu menjadi pembicaraan pada saat pergantian tahun. Manusia ingin mengetahui masa depannya.
Buddha jelas bersabda, “Perbuatanmu yang menentukan nasibmu sendiri,” Orang kebanyakan percaya dengan apa yang disabdakan Buddha, tetapi juga percaya kalau nasib atau peruntungan itu sesuai dengan binatang yang berpengaruh pada saat kelahirannya. Astrologi melihat pengaruh bintang di langit terhadap kehidupan manusia. Menurut horoskop Cina, kuda yang naik bintang setahun yang akan datang mewarnai kehidupan manusia.
Segala peristiwa di tahun kuda dan orang-orang shio kuda, yang dilahirkan di tahun ini, dipengaruhi watak kuda. Mereka agaknya setia, senang bersahabat, suka melancong, mesti bekerja keras, dan sabar bagai kuda, tetapi juga suka menyerobot, senang hingar bingar, pantasnya tentu sebinal kuda. Lalu bagaimana dengan kuda yang dilahirkan di tahun kuda? Sama saja dengan kuda yang dilahirkan di tahun-tahun lainnya, makhluk itu harus mengakui pengaruh manusia atas nasib mereka.
Kuda merupakan sahabat manusia yang ikut mempengaruhi sejarah peradabannya. Apakah namanya itu beruntung atau pun malang, kuda menjadi kesayangan tidak hanya sebagai teman bermain, tetapi justru karena dapat diperalat, ditunggangi manusia, atau dijadikan penarik kereta. Kuda ikut memegang peranan di medan perang. Tanpa kuda, Alexander Yang Agung dan Jengis Khan, misalnya, musykil, menjadi penakluk dunia. Para penunggangnya menjadi pahlawan atau penguasa, sedangkan kuda kembali makan rumput di istal.
Seekor kuda agaknya dilahirkan untuk ditunggangi oleh manusia. Kanthaka, kuda yang dilahirkan tepat pada saat Pangeran Siddharttha dilahirkan, kemudian memang menjadi tunggangan Sang Pangeran. Kuda itu yang membawa Pangeran Siddharttha meninggalkan istananya, melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, lalu menyeberangi sungai Anoma. Di sana binatang itu dan kusirnya, Channa, menyaksikan calon Buddha tersebut melepaskan semua pakaian kebesarannya dan memotong rambutnya untuk menjadi seorang petapa.
Dalam legenda dikenal adanya kuda terbang. Pada sebuah pilar tangga di Mathura, terlukis seekor kuda menerbangkan banyak orang yang bergantung pada anggota tubuhnya. Menurut Valahassa Jataka, calon Buddha pernah menjelma sebagai seekor kuda terbang dari Himalaya yang singgah di Sri Lanka untuk makan dan minum. Di sana terdapat sejumlah saudagar asing yang terlena dalam jebakan iblis dan sebagian lain yang waspada mencari jalan untuk melarikan diri. Kuda terbang itu kemudian menolong mereka yang ingin pergi meninggalkan tempat tersebut. “Mereka yang mematuhi petunjuk Buddha akan memperoleh keselamatan, sebagaimana para saudagar yang diselamatkan oleh kuda terbang itu.”[1]
Kini mesin telah menggantikan tenaga kuda, lalu nasib kuda pun boleh berubah. Kuda akan lebih banyak menjadi teman manusia berolahraga atau mencari hiburan. Maka nasibnya dipengaruhi oleh manusia, bukan peredaran bintang di langit yang penuh misteri. Manusia sendiri melihat nasib kuda tergantung pada kuda yang bersangkutan. Perlakuan manusia terhadap kuda yang jinak akan beda dari kuda yang liar misalnya.
Kesi adalah seorang pelatih kuda. Bagaimana ia melatih seekor kuda supaya menjadi jinak? Katanya, “Untuk menjadikan kuda itu jinak, mungkin aku melatih dengan cara yang halus, atau dengan cara yang kasar, atau bisa juga kombinasi dari cara yang halus dan kasar.” Buddha bertanya, “Kesi, jika seandainya kuda yang ingin kau jinakkan itu tidak patuh dilatih dengan cara yang halus, tidak juga dengan cara yang kasar, atau kombinasi kedua cara itu, apa yang kaulakukan kemudian?” Jawab Kesi, “Kalau demikian halnya Bhante, aku akan membunuh kuda itu.”
Mengapa ia harus membunuh kuda yang gagal dilatihnya? Kesi berpendapat bahwa kegagalan itu akan membawa aib baginya, memalukan namanya sebagai pelatih kuda yang tenar. Dia adalah tipe guru yang mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan pihak yang dididiknya.
Lalu Kesi bertanya, bagaimana kalau Buddha gagal mendidik seorang manusia dengan segala cara? Tentu saja manusia tidak bisa dipersamakan dengan kuda yang boleh dihabisi nyawanya kalau gagal dilatih atau dididik. Menurut Buddha, apabila seorang guru tidak menaruh peduli lagi atau tidak menegur muridnya, sama saja hal itu dengan membunuhnya.[2]
“Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, dicambuk sekali saja akan menjadi bersemangat dan berlari kencang, demikian pula orang yang rajin dan bersemangat religius. Dengan keyakinan, kebajikan, upaya, dan konsentrasi, mencari kebenaran sehingga diberkahi pengetahuan, kebaikan, dan kesadaran, maka ia akan meninggalkan penderitaan yang berat ini.”[3]
“Waspada di antara yang lengah, terjaga di antara yang tertidur, orang bijaksana maju terus, bagai seekor kuda yang berlari kencang meninggalkan kuda-kuda yang lemah di belakang.”[4]
24 Januari 1990
[1] Jataka 196
[2] Anguttara Nikaya IV, 12:111
[3] Dhammapada 144
[4] Dhammapada 29