Tahun Menjinakkan Ular
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Tahun ular pun datang setelah suatu siklus yang terdiri dari dua belas tahun. Tradisi mengembalikan ingatan pada segala rekaman peristiwa yang pernah terjadi di tahun-tahun ular sebelumnya untuk mereka-reka apa yang akan terjadi di tahun sekarang ini. Betul ada siklus waktu dan siklus kehidupan. Betul setiap pagi akan muncul menggantikan malam, namun sebenarnya waktu yang sudah lalu itu tidak pernah kembali.
Hidup itu menempuh perjalanan ke masa depan. Tidak ada barang sesuatu pada hari ini yang masih tinggal, tetap, sama dengan kemarin. Ibarat aliran sebuah sungai, sekalipun secara keseluruhan rupanya tampak tetap, namun tiada setetes air di dalamnya yang tetap sama pada dua saat yang berbeda. Dalam siklus yang tampak bagai pengulangan, manusia tidak akan betul-betul mengulangi nasib atau peristiwa yang sama,
Nasib manusia ditentukan oleh perbuatannya (karma) sendiri. “Pada akhirnya buah dari perbuatan akan dinikmati si pembuat sendiri, bagaikan suara terpantul kembali, atau bagaikan bayang-bayang yang tidak pernah lepas mengikuti badan.”[1] Ramalan akan nasib seseorang pun berdasarkan telaahan atas segala perbuatan yang pernah dilakukan, yang sedang, dan akan dilakukan kemudian. Katakanlah sepanjang sejarah tahun-tahun ular dipenuhi peperangan, seperti juga tahun-tahun yang lain, manusia sendiri yang mengobarkan kebencian. Kebencian itu memang sifat iblis, dan iblis itu manusia sendiri, sedangkan ular cuma simbolnya.
Ular pada umumnya dilukiskan jahat, licik, dan berbisa. Bisa jadi ada orang memuja ular, yang disucikan bukan karena sifat yang luhur, tetapi karena ia menakutkan. Ular boleh juga menjadi penjaga gudang harta atau menjadi penari yang bersahabat. Legenda Buddhis menempatkan ular sebagai penguasa salah satu tahun kalender. Sangat tidak mungkin ular yang ganas, sekalipun cuma simbol diberi legitimasi untuk memengaruhi nasib dunia ini. Ular pengikut Buddha adalah ular yang telah dijinakkan, yang menanggalkan segala keburukannya.
Ular berperikemanusiaan tidak asing dalam ilustrasi ajaran Buddha. Misalnya Campeyya, seekor raja ular yang rela menderita hidup di antara manusia. Ia berbisa dan memiliki kekuatan gaib, namun tidak pernah menggunakannya untuk melawan apalagi menyakiti makhluk lain. “Bukan untuk kehidupan sekarang ini, demi keturunan atau mengejar kekayaan: aku bergulat menundukkan diriku sendiri, sudah menjadi cita-citaku, apabila bisa, dilahirkan kembali sebagai manusia yang berhasil meraih kesempurnaan.”[2]
Dikisahkan kehadiran seorang Bodhisattwa mendatangkan perdamaian di hutan di sekeliling pertapaannya. Kerbau, kuda, kambing, ayam, babi, kelinci misalnya, dapat dengan tenang duduk berdampingan di sebelah harimau dan ular. “Tiada yang terlambat untuk memulai penghidupan suci,” begitu ujar Sang Guru. Ular yang semula ganas berjanji tidak akan mencelakai makhluk lain, serta berlatih untuk menahan sabar dan mengendalikan diri.
Suatu peristiwa, seorang manusia mencari kayu di hutan. Setelah kayunya terkumpul cukup banyak, ia mencari rotan atau akar untuk mengikatnya. Kebetulan ia melihat ular itu yang diam tak bergerak, karena tidak ingin mengejutkannya. Barangkali dikiranya rotan atau barang mati, ular tersebut dijadikan alat untuk mengikat kayu-kayu yang sudah terkumpul. Tentu saja binatang itu kesakitan. Tetapi ia tetap tak bersuara dan tidak melawan hingga orang itu tiba di rumah dan membuka kembali ikatan kayunya. Setelah bebas ular itu menjalar pelan-pelan menemui Sang Guru.
“Sungguh aneh sekali ajaran Guru, aku menjadi bodoh karena menaati ajaran itu,” katanya, melaporkan apa yang telah ia alami. Maka, Sang Guru tertawa mendengarnya. ”Tentu saja engkau bodoh,” ujarnya, “Tidak boleh menyakiti atau menggigit makhluk lain, tidaklah berarti tidak boleh menunjukkan reaksi, bersuara, atau bergerak.” Apabila ular itu mendesis atau menggeliat ia tentu tidak akan menderita.
“Kesabaran itu adalah cara bertapa yang paling baik,” demikian sabda Buddha.[3] Di tengah kesibukan hidup sehari-hari, kesabaran akan banyak menolong seseorang untuk menempatkan diri dengan baik. Tanpa mengembangkan kesabaran, sukar diharapkan orang mau mengantri, mau mendengar dan menghargai pendapat orang lain, mengendalikan diri dan melaksanakan disiplin, misalnya. Tetapi bersabar bukanlah berarti tidak menaruh peduli atau bersikap pasrah. Sebagaimana kisah ular di atas, bersabar memerlukan kebijaksanaan, ada waktunya perlu menunjukkan suatu reaksi tanpa merugikan pihak lain.
Tahun ular harus diartikan sebagai tahun menjinakkan ular. Ular yang licik ditundukkan dengan kebenaran dan keadilan. Ular yang kejam ditundukkan dengan kemurahan hati dan kesabaran. “Barang siapa berpegang pada kebenaran, keadilan, kemurahan hati, dan kesabaran, tidak akan menyesal sekalipun setelah maut menjemput.”[4]
8 Februari 1989
[1] Sutra Empat Puluh Dua Bagian
[2] Jataka 506
[3] Dhammapada 184
[4] Alavaka Sutta