Tanggung Jawab Sosial
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Kita masih dalam perjalanan mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang pesat tetapi juga menghendaki pembagian pendapatan yang makin merata. Sebagian besar penduduk Indonesia belum berhasil melepaskan diri dari masalah kemiskinan. Sebagian yang kaya bukan tidak pantas untuk bertambah kaya. Tetapi sebagai makhluk sosial, setiap orang memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial seorang yang berada dinyatakan secara tegas oleh Buddha:
“Katakanlah seorang umat Ariya dengan kekayaan yang diperoleh karena giat bekerja, yang dikumpulkan dengan kekuatan tangan, didapat dengan cucuran keringat sendiri, dihasilkan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum – ia membuat dirinya sendiri senang, bahagia, dan mempertahankan kebahagiaan yang luhur. Ia membuat orangtuanya senang, bahagia, dan memelihara mereka. Demikian pula halnya istri dan anak-anaknya, pelayannya, karyawan dan anak buahnya. Inilah alasan pertama untuk mengejar kekayaan.” Selanjutnya Buddha menguraikan pula alasan berikutnya: Ia membahagiakan para kerabatnya dan membantu mereka. Ia melenyapkan bahaya-bahaya yang timbul dari berbagai sebab. Ia melakukan lima macam pengorbanan atau persembahan memenuhi kewajiban, baik terhadap sanak keluarga, tamu, penguasa, atau demi mereka yang telah meninggal dunia dan para dewa. Ia memuliakan agama dan membantu para rohaniwan yang kelakuannya benar dan sesuai dengan peran mereka.[1]
Tanggung Jawab Lembaga Agama
Salah satu bentuk kelembagaan agama tampak pada rumah ibadah dan pengorganisasiannya. Tanggung jawab sosial melekat pada peran apa yang dilakukan untuk masyarakat dan berhubungan dengan pengaruh sosial lembaga terhadap masyarakat. Atau tanggung jawab yang timbul menghadapi persoalan masyarakat sendiri.
Kita bedakan adanya pengaruh (adhipateyya) atas: pengaruh diri sendiri, pengaruh dunia, dan pengaruh Kebenaran atau Dharma.[2]
Pengaruh diri sendiri terlihat pada orang yang melakukan perbuatan sesuai dengan kehendak atau kesenangan diri sendiri. Pengaruh dunia muncul bila ia berbuat sesuatu sebagai akibat pendapat atau sikap orang lain, bisa saja karena takut dipersalahkan atau bertujuan mencari nama. Pengaruh Dharma tampak bila seseorang melakukan kebaikan atau jasa hanya semata-mata demi kebaikan, dengan menyadari bahwa hal itu adalah benar tanpa mempedulikan apa akan mempersulit diri sendiri atau bagaimana sikap orang lain.
Pengaruh Dharma selayaknya melahirkan tanggung jawab lembaga agama di tengah kehidupan masyarakatnya. Tanggung jawab itu tampak dengan melaksanakan ajaran Buddha untuk kesejahteraan semua makhluk, sebagai wujud dari amal-ibadah.
Salah satu kegiatan ibadah adalah memuja, umumnya dengan persembahan materi (amisapuja), dengan bunga, dupa, dan sesajian. Tetapi memuja dengan perbuatan (patipattipuja) adalah cara yang paling baik, yang lebih dihargai.
Pesan Buddha Gotama menjelang saat terakhir hidupnya, “Pohon sala kembar penuh berbunga sekarang meskipun bukan musimnya. Bunga-bunga jatuh bertaburan di atas jasad Bhagawa sebagai penghormatan kepada Buddha Tathagata. Bunga pohon Karang dan serbuk kayu Cendana yang semerbak harumnya jatuh laksana hujan ke atas tubuh Tathagata sebagai penghormatan kepada Tathagata. Sedang di udara terdengar suara musik kedewataan yang merdu, juga sebagai penghormatan kepada Tathagata. Namun Ananda, bukanlah itu cara menyampaikan penghormatan, penghargaan, pemujaan yang paling luhur kepada Tathagata. Ananda, bila seorang biksu-biksuni dan upasaka-upasika berpegang teguh pada Dharma, maka ialah yang sesungguhnya memberi penghormatan, penghargaan, dan pemujaan yang paling luhur kepada Tathagata.”[3]
Lomba Derma Ullambana
Baru saja umat Buddha mengadakan upacara Ullambana, upacara sembahyang yang diikuti pembagian derma, khususnya beras untuk golongan kurang mampu. Nama lain yang lebih dikenal lewat kalangan kelenteng adalah cioko atau sembahyang rebutan. Menurut studi Kenneth K.S. Ch’en, Ullambana mula dikenal pada tahun 538 di Cina sebagai perayaan Yu-lan-p’en dan tahun 606 di Jepang dengan nama urabon. Upacara itu diselenggarakan atas nama ketujuh generasi leluhur mereka dengan persembahan yang ditujukan kepada Buddha dan Sanggha.
Pada zaman dinasti Tang, seorang biksu Tantra, yaitu Amoghavajra, menyesuaikannya dengan tradisi pemujaan leluhur dari rakyat setempat, sehingga upacara selanjutnya ditujukan bagi arwah leluhur. Pada kesempatan itu wihara yang terkemuka mempertunjukkan kelebihannya dari yang lain. Golongan berada juga mempertunjukkan kekayaannya. Tetapi bukan sekadar pamer kelebihan, karena mereka berlomba melakukan derma.
Upacara Ullambana dilatarbelakangi isi dari Ullambanapatra Sutra. Mogallana, salah seorang siswa Buddha, setelah berhasil mencapai kesempurnaan, dengan kekuatan batinnya melihat ibunya almarhum sebagai hantu yang kelaparan. Ia sendiri tidaklah mampu menolong. Atas petunjuk Buddha, dengan bantuan himpunan kekuatan batin segenap biksu Sanggha yang suci barulah hantu kelaparan itu tertolong. Buddha menganjurkan penyelenggaraan upacara bagi hantu-hantu yang menderita pada hari kelima belas bulan ketujuh penanggalan lunar.
Dari praktik ritual yang mistis, upacara Ullambana pun melahirkan suatu bentuk solidaritas sosial dalam mencampakkan kemiskinan. Tinggallah bagaimana lembaga agama berperan sebagai lembaga derma, dan bagaimana mereka yang cukup berada mendukungnya. Lalu tidak cuma setahun sekali.
10 September 1986
[1] Anguttara Nikaya V, 4 : 41
[2] Anguttara Nikaya III, 4 : 40
[3] Digha Nikaya 16