Tiada Harapan Tanpa Pegangan
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Esok penuh harapan. Namun tanpa hari ini, esok tiada akan menjadi kenyataan. Bukan pesimis kalau Buddha mengajarkan selain tidak meratapi apa yang telah lalu, juga tidak merindukan apa yang bukan kenyataan. Dengan apa adanya sekarang ini, orang yang arif memelihara dirinya sehingga tanpak ceria.[1]Buddha memberi petunjuk agar manusia bersikap realistis.
Dalam kitab Dhammapada Atthakatha diilustrasikan bagaimana seorang pemuda terlena dalam khayalan sehingga tidak menyadari kenyataan yang dihadapinya. Pemuda itu menjadi biksu karena tertarik mengikuti jejak pamannya. Lama-kelamaan ia mulai tidak menyenangi cara hidupnya. Kebetulan ia pernah memperoleh dana dua potong kain. Ketika sedang mengipasi pamannya, pemuda itu pun melamun. Dalam angan-angannya ia menjual kainnya lalu membeli kambing. Binatang itu berkembang biak cepat, dan dijualnya sehingga menghasilkan uang banyak. Selanjutnya ia kawin dan memperoleh seorang anak laki-laki. Di kemudian hari ia mengunjungi pamannya dengan mengajak serta anak istrinya. Entah mengapa khayalannya tidak berakhir indah. Dalam perjalanan, istrinya membunuh anak mereka. Maka ia menjadi kalap dan memukuli wanita itu. Ia sungguh memukul. Istrinya cuma ada dalam angan-angan, sedangkan yang ia pukul ternyata sang paman. Pemuda itu sadar seketika, lalu melarikan diri karena malunya.
Bermimpi dalam tidur dipandang wajar. Orang yang tidak sedang tidur harus menguasai kesadarannya. Menanggapi peristiwa tersebut Buddha berkata, “Meskipun pikiran bersemayam dalam lubuk batin, tanpa wujud jasmani, jauh sungguh ia selalu mengembara sendiri. Mereka yang dapat menjinakkannya akan terlepas dari jerat Mara (yang menyesatkan).”[2] Pada banyak kesempatan Buddha mengajarkan agar jangan terlelap dalam kelengahan, tetapi membina kesadaran yang tak kunjung henti. “Keberuntungan selalu datang pada orang yang sadar waspada. Ia diberkahi kebahagiaan yang semakin bertambah. Baginya esok adalah hari yang lebih baik.”[3]
Semua orang yang memiliki akal sehat selalu waspada dan mau berpikir secara kritis untuk membedakan kenyataan dari khayalan. Orang bodoh berangan-angan tetapi tetap sadar bahwa ia sedang berkhayal. Memiliki angan-angan dan menggantungkan cita-cita setinggi langit itu merupakan harapan dalam keadaan sadar, bukan mimpi yang tidak masuk akal. Kesadaran itu menuntut seseorang untuk mengenali potensi, kondisi, dan peluang yang dimiliki, berusaha dengan sekuat tenaga dan sedia berkorban, sehingga apa yang diharapkannya dapat menjadi kenyataan.
Seorang tukang becak misalnya boleh berharap pada suatu waktu ia akan memiliki mobil BMW. Jakarta dengan semangat BMW baru saja membuatnya menyingkir ke pinggir kota. Kemarin ia menarik becak. Hari ini ia masih menarik becak. Besok ia akan kembali menarik becak, ia harus puas terhibur dengan bermimpi saja. Bagaimana esok menjadi penuh harapan? Ada orang kaya yang mantan tukang becak, tetapi ia menjadi kaya bukan dari penghasilan menarik becak. Dengan demikian ia harus melepaskan becaknya kalau pada suatu ketika kesempatan itu muncul.
“Hari ini tidaklah tinggal tetap, maka jangan berusaha mempertahankannya dari saat ke saat,” demikian ujar Hokoji. Apa yang ada sekarang itu adalah suatu proses yang selalu menjadi, selalu berubah. Kesadaran yang tak kunjung henti pun muncul dalam penyesuaian mengikuti perubahan dan mengalami pembaharuan sehingga senantiasa memberi pengharapan.
“Barangsiapa hidup di tempat yang sesuai, bergaul dengan orang-orang yang mulia, mempersiapkan diri dengan baik, memiliki timbunan jasa dari kehidupannya di masa yang lampau, akan bergulir roda kesempatan baginya untuk memperoleh kekayaan, ketenaran, nama baik, dan kebahagiaan.”[4] Hari esok adalah sesuatu yang belum ada. Tetapi harapan di hari esok berpijak pada kenyataan yang dimiliki hari-hari sebelumnya. Tidak salah apa yang dikemukakan oleh Menko Polkam dalam mengatasi masalah pedagang asongan, “Keterampilan disiapkan dulu, kalau tidak, bagaimana dapat pekerjaan?” Latihan keterampilan membantu orang-orang mempersiapkan dirinya.
Bantuan itu menjadi salah satu pegangan, sehingga apa yang diharapkan tidak menjadi sesuatu impian kosong belaka. Namun selanjutnya nasib setiap orang ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain.
21 Maret 1990
[1] Samyutta Nikaya 1, 1:10
[2] Dhammapada 37
[3] Samyutta Nikaya I, X:4
[4] Anguttara Nikaya IV, 4:31