Tirakatan Masa Penghujan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hampir setiap puja bakti diikuti pembacaan paritta Ettavata. Paritta ini tak lain adalah doa mengharapkan perlindungan, dan pernyataan ketulusan hati agar buah jasa kita dinikmati semua makhluk. Salah satu isi doa, yaitu semoga hujan tepat pada musimnya.
Bagi penduduk di tanah agraris, membajak sawah, menyemai benih, dan menanti hujan adalah kisah yang senantiasa berulang. Rahmat Tuhan antara lain dikenal dari hukum tertibnya pergantian musim atau iklim (utu-niyama), menyempurnakan karya manusia.
Kebijaksanaan memancarkan sinar ke seluruh jagat.
Kewaspadaan, peneliti yang menopang
Kerbau sahabat kerja putra manusia
Galur gerak langkah pasangan itu menggaris batas
Hujan menyiram makanan bagi yang lemah atau kuat
Bagai seorang ibu memberi makan anaknya
Semangat penghujan memungkinkan kelangsungan hidup semua bentuk kehidupan di dunia.[1]
Masa penghujan mendapat perlakuan khusus dalam agama Buddha. Para biksu dipandang tidak pantas melakukan perjalanan pada musim hujan, mengingat mereka akan menginjak tunas-tunas tumbuhan dan rumput muda. Mungkin pula mereka merusak kehidupan binatang-biantang kecil yang muncul setelah hujan. Maka Buddha menyatakan agar para siswa-Nya melaksanakan masa vassa pada musim hujan.[2]
Vassa (Pali) atau Varsa (Sansekerta), berarti hujan. Musim hujan yang dimaksud tentunya sesuai dengan musim di India Utara. Pelaksanaan masa vassa dimulai sehari setelah hari purnama Asadha (bulan Juli) sampai dengan hari purnama pada bulan Assayuja (Oktober). Dengan demikian lamanya genap tiga bulan.
Musim hujan di Indonesia tidak sama waktunya dengan musim hujan di India Utara. Pelaksanaan masa vassa tidak lagi dihubungkan dengan masa penghujan, namun ditaati berdasar waktu yang sama, yaitu antara purnama Asadha dan Assayuja. Hal yang serupa dilakukan oleh para biksu di negara lain, Sri Lanka misalnya. Maka masa vassa di Indonesia justru berakhir ketika musim-hujan datang.
Ketika masa vassa para biksu mengundurkan diri dari pengembaraannya. Mereka menetap pada satu tempat atau wihara tertentu yang sesuai untuk penyepian. Penyepian memang tidak mesti terikat pada musim hujan, termasuk hubungannya dengan mengamankan tunas-tunas tumbuhan dan bentuk kehidupan lain. Mungkin status kesehatan para biksu dipandang lebih baik bilamana masa penyepian jatuh pada masa penghujan. Namun lingkungan hidup, transportasi, dan perawatan diri manusia zaman kini telah jauh berkembang.
Sudah sejak mula ditentukan, pelaksanaan masa vassa tak lain dari tirakatan. Masa vassa adalah saat seorang siswa mendampingi dan belajar langsung dari guru atau seniornya, memperdalam latihan meditasi, disiplin, ataupun pengetahuan agama. Kesibukan sosial, kunjungan tamu dan undangan berkurang pada masa itu, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk latihan yang intensif. Kewajiban tirakat ini tidak berarti mengabaikan tugas lain yang penting, sehingga para bhikkhu masih diperkenankan keluar dari tempat tirakatnya sepanjang tidak lebih dari tujuh hari. Lebih dari itu, masa vassa-nya menjadi batal.[3]
Masa vassa ini dipergunakan pula oleh kaum awam untuk menerima penahbisan menjadi rahib sementara (samanera pabbajja). Mereka mencukur rambutnya dan mengenakan jubah kuning, biasanya untuk sekitar empat bulan. Setelah itu mereka menanggalkan kembali jubahnya, dan hidup sebagaimana semula. Latihan semacam itu sangat populer antara lain di Muangthai, terutama untuk golongan muda.
Umat mungkin pula menyatakan ikrar untuk melaksanakan disiplin atau puasa dan pantangan tertentu pada masa vassa. Isi ikrar dapat bermacam-macam, tergantung pada watak dan kemampuan pribadi masing-masing atau mengikuti budaya setempat. Misalnya ada yang berikrar:
– Setiap hari dalam masa penghujan aku akan mempersembahkan makanan kepada para biksu,
– Aku akan menyerahkan dana berupa uang sejumlah tertentu setiap hari,
– Aku akan membaca paritta setiap pagi dan petang,
– Aku akan melakukan meditasi selama satu jam dua kali sehari,
– Aku akan melaksanakan panca-sila dan pantang nonton atau pesta,
– Aku pantang makan daging,
– Aku akan berhenti merokok sepanjang masa vassa,
dan sebagainya.
Tentu saja ikrar itu harus dilaksanakan. Dengan latihan tersebut seseorang akan semakin mengenal dirinya, mengenal batas kemampuan, kekuatan dan kelemahannya. Tidak jarang ikrarnya dilanjutkan sekalipun masa penghujan telah berakhir.
“Apabila seseorang melakukan kebajikan, hendaklah ia mengulang-ulang perbuatan itu dan membuat hatinya gembira dalam perbuatan tersebut. Sungguh membahagiakan hasil memupuk perbuatan bajik.”[4]
Akhir tirakatan masa penghujan ditandai dua upacara. Yang pertama dinamakan Pavarana, pada hari purnama bulan Assayuja. Pada hari terakhir masa vassa itu setiap biksu yang telah selesai menjalani tiga bulan masa vassa, menyatakan kesediaan kepada Sanggha (minimal 4 biksu) untuk menerima kritik bila terdapat hal-hal yang tidak benar pada dirinya.[5] Yang kedua, upacara Kathina pada hari berikutnya.
14 Oktober 1987
[1] Samyutta Nikaya I, 8:10
[2] Mahavagga III, 1
[4] Dhammapada 118
[5] Mahavagga IV, 1:13