Toleransi
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Segala bentuk upacara korban yang mengambil nyawa hewan apa saja ditolak keras oleh Buddha. Ia pun menyangkal dosa manusia dapat dibersihkan dengan berendam di air sungai yang dianggap suci. Sikap semacam ini misalnya belum menggambarkan isi pokok ajaran Buddha, tetapi jelas mencerminkan kepercayaan yang berbeda dari apa yang sudah dikenal sebelumnya. Benar Ia tidak pernah memaksa, tetapi juga tidak membiarkan pemikiran-Nya tenggelam di dalam tradisi kepercayaan yang keliru.
Setiap pemeluk agama yang baik memiliki keyakinan bahwa agamanya yang paling benar. Karena perbedaan keyakinan sering menimbulkan pertentangan, untuk memelihara kerukunan diperlukan toleransi dan sikap saling menghargai. Siha seorang jenderal, atau Upali seorang hartawan terkemuka, yang melepaskan kepercayaanya semula dan menganut ajaran Buddha diingatkan oleh Buddha sendiri agar tetap menghormati guru-gurunya yang terdahulu. Bahkan mereka dianjurkan agar tidak menghentikan sumbangan kepada golongan agamanya semula.
Tentu saja menghormati kepercayaan orang lain bukan berarti sekaligus menerima kepercayaan yang bertentangan itu untuk diri sendiri. Kassapa dan beratus-ratus orang kaum Jatila yang memuja api membuang semua peralatan sembahyangnya ke sungai Neranjara setelah mengakui kebenaran yang diajarkan oleh Buddha. Munculnya agama Buddha justru menunjukkan kebenaran itu bukanlah seperti apa yang sudah dikenal menurut kitab suci atau tradisi yang sudah mapan pada waktu itu. Agama ini pun berbeda dengan agama-agama lain yang dikenal dunia kemudian.
Dalam perkembangannya agama Buddha sendiri melahirkan sejumlah sekte. Jika diibaratkan dengan sebatang pohon, tanaman itu tumbuh berkembang dengan bercabang dan beranting. Bagaimana pun semua cabang dan ranting tersebut dikenali sebagai bagian dari pohon yang sama, yang berasal dari biji yang satu. Semua sekte mengaku paham mereka bersumber langsung dari Buddha sendiri. Ada yang menitikberatkan sikap yang rasional, ada yang mementingkan kepercayaan atau bakti, ada yang bersandar pada pengalaman intuitif, dan sebagainya. Keragaman kemampuan dan kebutuhan setiap manusia dalam menerima ajaran-Nya sudah sejak mula dipertimbangkan oleh Buddha. Buddha mengajarkan sejumlah metode, tetapi tidak membuat perbedaan yang melahirkan sekte.
Sekalipun merupakan aspek yang sama dari agama yang satu, setiap sekte memiliki watak dan identitasnya masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Bahkan dalam beberapa hal tertentu aliran yang berbeda itu mungkin pula saling menyerang. Menganggap semua sekte sama benarnya tentu saja keliru tanpa memahami ajaran Buddha yang pokok atau fundamental. Tanpa mengenali ajaran yang pokok ini orang mudah terbawa sesat. Menjadi lebih keliru lagi kalau suatu aliran mencampuradukkan agama lain yang tidak bersumber pada pendiri atau kitab suci yang sama.
Raja Asoka di abad ke-3 SM, dalam prasasti batu Kalingga No. XXII meninggalkan amanat sebagai berikut: “Dalam menghormati agama kita sendiri, janganlah lantas kita mencela agama lain tanpa sesuatu dasar yang kuat, tetapi seharusnya kita menghormati pula agama yang lain. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang di samping menguntungkan agama-agama lain. Kalau kita berbuat sebaliknya, kita akan menggali lubang kubur untuk agama kita sendiri di samping merugikan agama lain. Barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain dengan berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik sebagai pengikut agamanya yang taat, justru sebaliknya akan memukul agamanya sendiri. Oleh karena itu toleransi dan kerja sama dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan bersedia mendengar ajaran agama lain.”
Raja yang terpenting dalam sejarah India itu membuktikan jasanya yang sangat besar dalam menyebarkan agama Buddha secara damai. Kesediaan untuk mendengar ajaran agama lain ternyata tidak menggoyahkan keyakinan kepada Buddha. Memahami kebenaran dalam agama Buddha tidaklah dimulai dengan “menaruh percaya,” tetapi Buddha mengajarkan kebebasan berpikir secara benar. Tidak ada ajaran-Nya yang harus dipercaya jika bertentangan dengan akal. Ehipassiko atau “datang dan buktikan sendiri” merupakan petunjuk bagi para pengikut-Nya.
Toleransi itu berarti saling menghormati kebebasan setiap orang untuk menganut suatu agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya, dan tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain. Setiap penganut agama yang berbeda dapat memelihara kerukunan dan bekerja sama, tanpa menerima keyakinan yang bertentangan dengan dirinya. |
7 Maret 1990