Tradisi Keprajuritan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Jika seorang biksu harus mengunjungi markas atau tangsi tentara, ia tidak dibenarkan tinggal di sana lebih dari tiga hari, ia tidak diizinkan menyaksikan latihan perang, mengikuti pasukan yang siap tempur, apakah itu pasukan kereta perang, pasukan gajah, kavaleri, dan infanteri.[1] Dalam pengertian sekarang, tentunya pasukan itu tidak terbatas pada salah satu angkatan, tetapi dimaksudkan semua angkatan bersenjata.
Buddha mengakui eksistensi angkatan perang, namun Ia membatasi hubungan antara para rahib dengan golongan militer sebagaimana contoh di atas. Buddha menolak perang dengan tegas. Suatu angkatan perang dibentuk dan bisa diberi tugas untuk melakukan kekerasan hingga pembunuhan. Sedangkan Buddha tidak membenarkan semua bentuk kekerasan. Kekerasan selalu melahirkan kekerasan berikutnya. “Seseorang mungkin menghancurkan pihak lainnya, sejauh itu ia mencapai tujuannya. Namun jika orang ditindas oleh yang lain, dia akan membalas menindas pula.”[2]
Ia mengajarkan cinta dan tanpa kekerasan (ahimsa). Pantang membunuh adalah sila pertama yang diikrarkan oleh semua penganut-Nya. Para rahib bisa tidak membunuh, tetapi bagaimana dengan prajurit? Apakah penghidupan yang benar tidak mencakup profesi tentara?
Seorang prajurit berkali-kali bertanya kepada Buddha, apakah benar bahwa orang yang sepenuh hati dan sekuat tenaganya bertempur, bilamana kalah dan tewas, maka ia akan dilahirkan kembali di surga. Menurut Buddha, orang yang berperang dengan pikiran membenci, semata-mata ingin menghancurkan, membasmi, membunuh: jika ia sendiri terbunuh, ia dilahirkan di alam yang tidak menyenangkan.[3]
Tidaklah sedikit serdadu yang meninggalkan profesinya dan memilih cara hidup sebagai rahib. Raja Bimbisara mengeluh di hadapan Buddha, bahwa bilamana para serdadunya memasuki Sanggha, angkatan perang akan lemah dan mungkin menimbulkan kerawanan di bidang keamanan dan keselamatan negara. Buddha memang tidak mengabaikan profesi tentara. Ia menjanjikan untuk tidak menerima golongan tentara menjadi rahib. Hal ini hanya bisa dimengerti jika ajaran-Nya mengangkat citra tentara sehingga tidak identik dengan perang dan kekerasan. Dia yang membedakan benar dan salah, yang ditaati dan memimpin, tidak menggunakan kekerasan, melainkan menegakkan hukum dan keadilan secara arif bijaksana.
Keprajuritan dan keperwiraannya dikagumi tidak tersendiri, tetapi lazimnya terikat pada kesetiaan, kejujuran, dan kebenaran yang diperjuangkan. Sifat mulia itu yang membuat figur seorang panglima perang, Kuan-ti (162-219) misalnya, dihormati sebagai Pelindung Dharma. Arca panglima perang tersebut sering ditemukan mendampingi arca Buddha atau Bodhisattwa.
Dalam perkembangannya di Tibet, kita menemukan jalinan hidup keagamaan dan keprajuritan berupa pasukan rahib. Demikian pula di Jepang. Aliran Zen tiba di Jepang hampir bersamaan dengan mulainya zaman Kamakura, ketika diktator Yoritomo dan para samurai pengikutnya menguasai kekuatan militer. Faktor kebetulan ini menghasilkan pengaruh agama Buddha di kalangan militer. Latihan keagamaan tidak hanya membimbing perkembangan rohani dan kebajikan, namun juga melahirkan seni perang.
Buddha tidak jarang mengemukakan sifat-sifat baik dari seorang prajurit sehubungan dengan latihan keagamaan. Misalnya, prajurit dihargai karena cakap memilih medan yang menguntungkan, menembak jitu, menembak secepat kilat, dan menembus atau memenangkan obyek sasaran yang luar biasa. Dalam ulasan itu, bagi seorang siswa, diartikan: tinggal sesuai dengan cara hidup yang terlatih dan terkendali, dengan tepat menguasai pemusatan pikiran, memahami dengan benar apa itu kesunyataan, dan meraih pembebasan.”[4]
Seluruh ajaran Buddha meliputi tiga pokok latihan: (1) latihan hidup susila (sila), (2) latihan meditasi (samadhi), dan (3) pengembangan kearifan (panna). “Dengan terlatih dalam sila, meditasinya akan berkembang. Dengan terlatih dalam meditasi, kearifannya akan berkembang. Dengan terlatih dalam kearifan, batinnya akan terbebas dari segala noda.“[5] Kebaikan ditentukan oleh kearifan dan sebaliknya kearifan dibenarkan oleh kebaikan. Kearifan merupakan pedang, senjata bagi prajurit dan musuhnya tak lain kegelapan batin. Pedang ini bukan menampilkan citra peperangan tetapi merupakan alat pembangunan.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi keprajuritan pun bukanlah tradisi perang. Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Soeharto tiga bulan yang lalu, citra keprajuritan kita lebih luhur dari citra peperangan, lebih luhur dari citra militer. Tradisi keprajuritan kita adalah tradisi patriotisme, tradisi kebangsaan, tradisi cinta tanah air. Semangat keprajuritan kita adalah semangat patriotisme, semangat kebangsaan, dan semangat cinta tanah air.
“Biarlah tubuhku tinggal tulang berbalut kulit, biarlah daging dan darahku mengering, selama belum tercapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, daya, dan usaha manusiawi, aku tak akan berhenti berusaha.”[6] Itulah tekad keprajuritan yang perwira (virya), yang patriotis, dan mewujudkan cinta tanah air dengan memelopori pembangunan.
7 Oktober 1987
[1] Sutta Vibhaga, Pacittiya 49-50
[2] Samyutta Nikaya III, 2:5
[3] Samyutta Nikaya XLII, 8:3
[4] Anguttara Nikaya IV, 181
[5] Digha Nikaya XVI, 2:10
[6] Majjhima Nikaya I, 481