Tujuan Tidak Menghalalkan Segala Cara
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Seseorang hendaknya tidak menggunakan cara-cara yang hina untuk mencapai keberhasilan demi kepentingan diri sendiri atau pun orang lain (Dhp. 84). Ayat ini dikutip oleh Franz Metcalf dan Hateley dalam bukunya What Would Buddha Do at Work untuk menegaskan bahwa tujuan tidak menghalalkan cara.
Nilai keberhasilan yang kita capai sangat ditentukan oleh cara untuk meraihnya. Bagaimana pun baiknya maksud kita, bagaimana pun mulianya tujuan kita, jika kita berbohong, menipu, berbuat curang, atau mencuri untuk mencapai tujuan itu, sesungguhnya kita telah mengingkari kebenaran. Kebenaran terkait dengan kejujuran, bukan pembenaran yang menyelubungi dusta dan segala kebusukan atau kotoran di dalamnya.
Tidak Ada Dusta Putih
Kasus murid yang disuruh gurunya untuk memberi contekan kepada teman-temannya saat Ujian Nasional menunjukkan pembenaran dari tujuan menghalalkan cara. Kejadian di salah satu SD di Surabaya ini bisa jadi hanya merupakan sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan ada banyak kasus serupa yang tidak muncul ke permukaan. Hal ini terdorong oleh orientasi sistem pendidikan yang lebih mengutamakan target ketimbang proses. Setiap sekolah dan setiap daerah ingin menjaga prestise dan gengsi.
Ketika ibu si murid melaporkan apa yang dialami oleh anaknya, tragedi pun terjadi. Kepala sekolah dan guru yang bersangkutan dimutasikan. Namun perempuan yang berani jujur ini dicemooh oleh wali-wali murid lain, bahkan tersingkir dari rumahnya karena dimusuhi oleh tetangga. Masih adakah kejujuran di tengah masyarakat? Ternyata, Menteri Pendidikan Nasional berdasar data yang diteliti mengumumkan bahwa pihaknya tidak menemukan bukti telah terjadi kasus nyontek massal (17/6/2011).
Kejujuran seharusnya dijunjung sebagai sebuah nilai karena perilaku itu menguntungkan baik bagi orang yang mempraktikkan maupun bagi orang lain yang terkena akibatnya. Suatu nilai merupakan prinsip yang memungkinkan tercapainya ketenteraman atau tercegahnya kerugian dan kesusahan. Agama sangat mengutamakan nilai kejujuran dan kebenaran. Namun bagaimana jika kejujuran menimbulkan kesulitan?
Seringkali kita mendengar, kalau jujur seseorang bisa celaka, bisa kehilangan pekerjaan atau jabatan. Jadi berbohong untuk kebaikan dipandang perlu. Orang-orang menyebutnya dusta putih. Ajahn Brahm bertahun-tahun mencoba mencari terminologi ini dalam bahasa Pali, bahasa kanon Buddhis. Ia menyatakan tidak ditemukan kata yang mengandung pengertian dusta demi kebaikan. Dalam perspektif agama Buddha, tidak ada dusta putih. Dusta ya dusta, hitam atau paling tidak abu-abu.
Setiap orang bisa berbuat salah. Kita tidak perlu takut untuk mengakui kesalahan yang sudah kita lakukan. Yang penting adalah memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan. Agama mengajarkan tanggung jawab, pertobatan, dan pengampunan. Dengan itu kita memiliki kesempatan untuk merealisasi kedamaian.
Masyarakat yang Sakit
Ketika dengan berdusta malah mendapatkan keuntungan, maka orang akan ketagihan melakukannya. Semua orang melekat pada kebiasaan, dan dibentuk oleh kebiasaan. Seorang manusia pendusta membangun masyarakat yang suka berdusta, dan sebaliknya pula masyarakat menghasilkan manusia pendusta. Bagaimana jadinya suatu masyarakat dibentuk oleh manusia dan manusia sendiri dibentuk oleh masyarakat. Manusia dan masyarakat saling berinteraksi dalam sebuah proses yang dinamis.
Dewasa ini kebohongan mulai mengguncangkan kehidupan bernegara. Korupsi semakin menggurita, penyalahgunaan kekuasaan menjadi-jadi, sampai-sampai dokumen Mahkamah Agung saja bisa dipalsukan. Hukum terabaikan, bahkan di jalan-jalan raya pelanggaran peraturan lalu-lintas dibiarkan. Contek-menyontek, plagiat, dan jual beli ijazah merupakan cermin kemerosotan pendidikan. Agama pun dijadikan alasan untuk melakukan tindakan kekerasan, melupakan cinta kasih dan perikemanusiaan. Terjadi penumpulan hati nurani. Fenomena krisis moral seperti ini menunjukkan gejala masyarakat yang sakit. Masyarakat sakit, pemerintah juga sakit.
Dalam bukunya How to Live Without Fear and Worry, K. Sri Dhammananda bercerita tentang manusia yang bahagia karena sakit. Ada sepasang suami istri yang sudah lama menikah tetapi belum juga bisa punya anak. Si istri menjadi stres dan mulai terganggu jiwanya. Ia pura-pura hamil. Suatu hari, ketika pulang ke rumah, sang suami melihat istrinya membopong sebatang kayu. Ia tampak bahagia dengan bopongannya itu yang diperlakukan bagai seorang bayi. Persis seperti seorang anak kecil yang bermain dengan bonekanya. Balok kayu itu diberi baju, dicium dengan penuh kasih sayang, bahkan dibuatkan ayunan untuk meninabobokannya.
Tentu saja sang suami merasa cemas melihat perilaku istrinya. Jelas perempuan itu sakit. Ia membawa istrinya menemui seorang psikiater. Psikiater meneliti kasus ini dengan saksama dan menjelaskan bahwa perempuan malang itu telah menemukan kebahagiaan dengan mengkhayalkan apa yang tak dapat ia raih dalam kehidupan yang realistis. Bersikap rasional dengan membuang balok kayu itu sama saja dengan merenggut kebahagiaan si istri.
Orang atau masyarakat yang sehat seharusnya tidak membiarkan mereka yang sakit tetap sakit karena tidak menyadari penyakit yang sedang dideritanya. Bagaimana pun penyakit harus diobati. Jangan sampai malah yang sehat ketularan penyakit.
Jakarta, Juni 2011