Waisak Bukan untuk Diri Sendiri
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Demikian yang telah didengar: Ia Bhagawa, Yang Mahasuci, Yang telah merealisasikan Penerangan Sempurna berkat kekuatan-Nya sendiri. Di Kapilawastu Ia didampingi oleh ratusan orang murid-Nya menerima kunjungan para dewa dari sepuluh ribu tata-surya. Salah satu kesaksian dari makhluk-makhluk cahaya itu menyatakan bahwa mereka yang berlindung pada-Nya akan terlahir kembali di alam surga.[1]
Bhagawa atau Buddha, junjungan para dewa dan manusia. Ia dilahirkan sebagai manusia pada saat purnama di bulan Waisak, 623 tahun sebelum Masehi. Tepat pada ulang tahun yang ke-35 Manusia-Buddha itu mencapai Penerangan Sempurna. Lalu genap pada usia 80 tahun, berarti 2.534 tahun yang lalu, Ia meninggal dunia. Dengan demikian Waisak memperingati tiga peristiwa penting dari hidup seorang manusia Buddha: dilahirkan, mencapai Penerangan Sempurna, dan meninggal dunia. Waisak tahun ini jatuh pada hari Kamis, 10 Mei 1990.
Barangkali riwayat hidup Buddha bagaikan sebuah dongeng. Sekalipun berbagai peristiwa gaib dan selubung mistis diabaikan, harus diakui bahwa Ia bukanlah manusia biasa yang bisa ditemukan di setiap zaman. Tidak sedikit orang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin bangsa atau pemimpin dunia. Kebanyakan orang-orang besar itu memerlukan kekuasaan dan kekayaan untuk memaksakan keinginan dan gagasannya kepada orang lain. Bahkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, para pemimpin tidak pantang mengangkat senjata, memerangi lawannya yang dilaknatkan. Namun tidak demikian halnya dengan Buddha.
Ia tidak memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan. Ia justru meninggalkan takhta kerajaan dan memilih kehidupan sebagai petapa yang akrab dengan segala penderitaan dan kesedihan dunia. Hidupnya memang bukan untuk diri sendiri. Ia terlahir karena kasih kepada dunia, untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan semua makhluk. “Samana Gotama menjauhkan diri dari pembunuhan. Ia menyingkirkan alat pemukul dan pedang. Ia pantang melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk.”[2] Ia membalas kebencian orang-orang yang menentang dengan cinta kasih, menaklukkan lawan dengan cinta-kasih. Sudah menjadi tekad seorang Buddha untuk menyelamatkan semua manusia, tanpa kecuali.
“Tidakkah engkau pernah melihat manusia mana saja, lelaki atau perempuan, yang berusia delapan puluh tahun atau sembilan puluh tahun atau seratus tahun? Tubuhnya rapuh, bungkuk, atau pincang, bertopang pada tongkat dan gemetar sepanjang langkahnya; yang merana setelah masa jayanya berlalu, yang ompong, beruban atau botak karena rontok rambutnya, dengan wajah keriput serta anggota badan penuh keropeng? Tidakkah engkau pernah melihat manusia mana saja, lelaki atau perempuan, yang dirundung malang, menderita penyakit yang parah, menyedihkan; menggeletak di atas najisnya sendiri, digotong oleh orang lain, dirawat di tempat tidur oleh orang lain? Tidakkah engkau pernah melihat manusia mana saja, lelaki atau perempuan, yang direnggut maut; sehari, dua hari, atau tiga hari kemudian jasadnya membengkak, rusak dan membusuk?”[3]
Hidup senantiasa berubah. Hidup menanggung bermacam-macam bentuk penderitaan. Mati pun merupakan penderitaan yang pasti akan menimpa setiap manusia, yang berkuasa ataupun hamba sahaya, yang kaya atau papa. “Alangkah mencemaskan. Alangkah menyakitkan,” seperti yang dikeluhkan oleh Yasa. Lalu apa gunanya harta kekayaan? Apa artinya semua pesta-pora yang mesti berakhir di tanah pekuburan? Yasa, orang kaya yang resah itu bertemu dengan Buddha. Ujar Buddha kepadanya, “Di sini Yasa tiada mencemaskan. Di sini Yasa tiada yang menyakitkan. Kemari Yasa aku akan mengajarmu.”[4]
Ada banyak orang-orang yang beruntung seperti Yasa. Dengan mengikuti petunjuk Buddha, mereka berhasil memutuskan rantai penderitaan. Mereka adalah Arahat, orang-orang kudus yang telah meraih Kebebasan Mutlak (Nirwana). “Di sana tidak terdapat kelahiran, di sana tiada kematian, bebas dari waktu, bebas dari kelapukan, di sana tiada awal atau pembentukan, tidak ada akibat, tidak ada sebab, itulah sesungguhnya akhir dari penderitaan.” Sementara orang-orang yang dikuasai hawa nafsu masih mempertentangkan keyakinan masing-masing, lewat pencapaian Penerangan (Bodhi) para Arahat memahami, benar ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak. “Para siswa, apabila tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu.”[5]
Dengan menunjukkan jalan, Buddha menyelamatkan orang-orang yang tak terhingga banyaknya sehingga berhasil mengakhiri penderitaan. Maka tidaklah salah kalau Ia dijunjung sebagai Juru Selamat. Namun keselamatan seseorang sangat tergantung pada diri orang itu sendiri, apakah mau mengikuti jalan yang ditunjukkan-Nya. Orang menghormati dan memuja Buddha tidaklah karena takut pada hukuman atau mengharapkan imbalan. Umat memuja Buddha karena menghargai-Nya sebagai seorang Guru dan mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala petunjuk yang pernah diajarkan-Nya. Dengan taat beragama, menjalani petunjuk Buddha, tentu saja orang dapat memperoleh berkah dan murah rezeki. Sesungguhnya perbuatan (karma) orang itu sendiri yang menentukan nasibnya.
“Ada nilai dalam amal, pengorbanan, dan persembahan; ada kelangsungan hidup setelah kematian dan ada imbalan atas perbuatan baik atau perbuatan jahat; ada kewajiban-kewajiban moral termasuk berbakti kepada ayah-ibu dan ada petapa atau brahmana yang menjalani kehidupan yang benar, mampu mencapai kebenaran dan mengajarkan pemahamannya mengenai hakikat dunia ini dan dunia seberang.”[6] Dengan mengacu pada pandangan ini, Buddha tidak mempersoalkan apa kepercayaan yang dianut orang-orang, tetapi mengajarkan bagaimana menyelamatkan orang-orang yang menderita. Tujuan pembabaran agama Buddha pun tidaklah untuk mencari pengikut yang sebanyak-banyaknya, melainkan bagaimana sebaik-baiknya mengakhiri penderitaan semua makhluk di dunia.
Waisak punya arti bukan untuk diri sendiri. Berulang-ulang kita merayakan Waisak. Upacara Waisak tepat pada saat bulan purnama sidhi setiap tahun terpusat di Candi Mendut dan Borobudur. Di saat yang sama umat yang tidak mengikuti upacara nasional juga melaksanakan puja bakti dan meditasi. Sampai sebulan di mana-mana orang masih merayakannya. Tradisi perayaan agama yang semarak memberi makna jika disertai penghayatan dan pelaksanaan ajaran agama yang semakin baik. Kita adalah ahli waris Dharma, bukan ahli waris hal-hal duniawi yang fana. Selamat hari Trisuci Waisak 2534
9 Mei 1990
[1] Maha Samaya Sutta
[2] Digha Nikaya I
[3] Anguttara NIkaya III, 4;35
[4] Maha Vagga I, 7
[5] Udana VII ;1-3
[6] Majjhima Nikaya 117