Wawasan Lingkungan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Keinginan memiliki yang tidak kenal puas, akan mengabaikan harkat diri. “Walau seluruh dunia diserahkan, masih tiada akan memuaskan orang yang tidak tahu syukur dan terima kasih.”[1]
Sikap yang terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya saja tidak membuat hidup manusia itu menjadi lebih baik. Individualisme dengan semangat memiliki telah mendorong kemajuan duniawi termasuk bidang ilmu dan teknologi. Namun dengan menguasai dan memeras alam, lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara, rusak, dan justru mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Paham yang berbeda, yang sangat mengorbankan kepentingan individu dan mengabdikannya kepada kepentingan masyarakat juga membayar kemajuan duniawi dengan permasalahan lingkungan. Kepentingan individu menurut kapitalisme atau pun kepentingan masyarakat menurut sosialisme-komunisme, memuja dan gandrung pada kehidupan materi. Kehidupan nonmateri atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang wajar.
Falsafah hidup kita menghendaki keseimbangan antara unsur materi dan spiritual. Dalam keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti Sihanada Sutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, mungkin saja manusia cukup makan, misalnya. Hakikat peradaban adalah memurnikan watak atau menyucikan diri, dan bukan melipatgandakan kebutuhan memenuhi nafsu keinginan.
Buddha mengajarkan pengendalian nafsu keinginan. “Bagai seorang gembala dengan tongkat mengawasi ternak-ternaknya, sehingga mereka tidak berkeliaran dan merusak tanaman orang. Bila tidak menguasai panca indra, dengan mengumbar nafsu maka penderitaan akan berlangsung seperti kuda liar yang tak terkendali, akan terjerumus ke dalam jurang.”[2]
Sudah menjadi kodrat, semua yang tercipta bersifat fana dan dapat lenyap. Yang menjadi milikku bahkan sang aku tidaklah kekal dan bisa lenyap. Menginginkan lain dari itu, melawan alam, melawan orang lain, akan menimbulkan penderitaan. Sebaliknya tidak menentang kodrat dan memelihara atau menyelamatkan hidup membawa kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai berkah atau pahala tidaklah diukur dari wujud materi semata. “Justru sebab berkah dan pahala itu adalah hal yang tak dapat diraba, maka Tathagata menyatakan berkah yang akan diperoleh itu adalah banyak.”[3]
Salah satu bentuk berkah sebagaimana dinyatakan dalam Mangala Sutta, adalah hidup di tempat yang sesuai (patirupadesavasa). Tempat yang sesuai atau tepat ditandai empat faktor, yaitu: (a) Tempat yang memberikan kesejahteraan (avasasappaya), misalnya letak yang strategis, udara yang baik, lingkungan yang sehat. (b) Lingkungan masyarakat yang baik (puggalasappaya), memahami dan mengamalkan ajaran yang benar, termasuk tahu sopan santun. (c) Hukum yang baik (dhammasappaya), termasuk disiplin atau tata-tertib, tradisi, dan kebudayaan yang baik. (d) Pangan yang memadai (aharasappaya), yang menunjang tercapainya kualitas fisik, apakah dari segi gizi atau kesehatan.
Tempat tinggal dan tempat kerja yang sesuai tersebut merupakan lingkungan yang memiliki daya dukung bagi perikehidupan yang optimal. Bilamana suatu tempat sudah kurang atau tidak memenuhi daya dukung lingkungan, migrasi merupakan jalan keluar. Burung yang pintar akan terbang meninggalkan sarangnya di pohon yang mulai terbakar.
Mungkin pula manusia bisa melakukan koreksi. Misal koreksi pada faktor alam, atau melalui penguasaan teknologi, dan agama dapat berperan dalam koreksi pada perilaku manusia sendiri. Kemampuan manusia memulihkan lingkungan tersirat dalam mitologi Kuan Yin (Avalokiteshvara) misalnya. Sang Bodhisattwa mengunjungi neraka, dan kehadirannya membuat suasana neraka seketika menjadi nyaman. Keinginan yang luhur untuk menolong orang lain dan kesucian yang dimilikinya menimbulkan kekuatan tersebut. Demikian pula dalam kisah Kunjarakarna di Jawa, menampilkan kekuatan seorang bidadara yang meledakkan kawah neraka dan mewujudkan sebatang pohon kalpataru menaungi lingkungan yang menyenangkan. Kekuatan itu dicapainya berkat pertobatan dan latihan di bawah bimbingan Buddha Wairocana.
Usaha menciptakan lingkungan yang baik di bumi akan membawa berkah hingga ke alam kehidupan berikutnya. Sakka, raja dewa di surga Tavatimsa, mencapai kebahagiaannya itu berkat jasa yang ditimbunnya saat hidup di bumi. Ia senantiasa menghormati dan membantu orangtuanya, menunjang saudara, lemah lembut dan sangat bersahabat, berbicara benar, dermawan, pantang memfitnah, dan pantang marah. Ia memikirkan banyak hal yang baik. Ia membuat jalan, meratakan, dan membersihkannya. Itulah jalan ke surga, katanya. Terdapat 32 orang laki-laki yang ikut membantunya. Mereka mendirikan balai umum, tempat berteduh dan beristirahat. Di sana mereka menampung orang sakit dan orang miskin. Ada pula perempuan yang menyediakan tiang menara, yang membuat kolam, menyediakan air minum dan air mandi bagi orang-orang lain dan ada yang membuat kebun bunga. Orang-orang itu menciptakan lingkungan yang baik di bumi. Lalu setelah meninggal dunia, mereka dilahirkan di surga Tavatimsa.[4]
Pembangunan yang berwawasan lingkungan menuntut perencanaan secara sadar untuk mengelola sumber daya secara bijaksana yang meningkatkan mutu kehidupan baik pada saat ini atau pun kelak di kemudian hari. Hidup tidak hanya kini.
10 Juni 1987
[1] Jataka 72
[2] Pacchimovada-Parinirvana Sutra 3
[3] Vajracchedika-Prajnaparamita Sutra 19
[4] Dhammapada Atthakatha II