Yang Bringas dalam Tradisi Buddhis
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Agama dipelihara, diwariskan, dan dipelajari melalui tradisi. Tetapi tidak hanya dengan mematuhi tradisi seseorang menjadi pengikut Buddha. Buddha tidak ditemukan dalam kitab-kitab, tidak ditemukan di wihara-wihara, candi, atau pagoda semegah apa pun. Itulah pesan Bodhidharma di abad keenam.
Tidak ada Buddha tanpa cinta kasih. Tidak ada Buddha menyertai tindakan kekerasan dan pertumpahan darah. Manakala agama hanya dianut sebagai tradisi yang tidak dimengerti, mungkin banyak orang berjubel mengikuti doa perdamaian di wihara dan orang yang banyak itu pula mengangkat senjata memaksakan keinginannya pada pihak lain. Tercatat dalam sejarah, di abad ke-11 raja Birma yang menganut agama Buddha menyerang tetangganya untuk memperoleh beberapa kitab Buddhis. Negara Buddhis lain, Thailand, pernah menyerang Birma dan Kamboja. Sebagai pembalasan, Birma menyerang Thailand dan menduduki ibukotanya, Ayuthia, pada abad ke-18.
Konon di antara sekian banyak orang yang terbunuh ketika itu, ada seorang Thai yang bersumpah bahwa dalam kehidupan mendatang ia akan menghancurkan Birma. Ia terlahir kemudian sebagai penduduk Birma. Orang ini Shu Maung namanya, mengganti nama menjadi Ne Win. Di bawah pimpinannya Birma menghadapi kemelut politik, kebobrokan di bidang ekonomi dan kehidupan sosial. Rakyat menjadi bringas memporakporandakan negeri yang mulai terancam kelaparan. Humor tentang sang penguasa tinggal humor. Tetapi memang umat Buddha percaya pada karma dan tumimbal-lahir.
Masyarakat yang memelihara tradisi Buddha, tidak lantas menghindari kekerasan. Mereka bisa bringas. Tidak hanya di ada Birma, kekerasan ditemukan pula di Sri Lanka dan Kamboya yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Manusia memiliki sifat laten dan kecenderungan yang berasal dan terkumpul dari kehidupan yang lampau. Ada orang atau bangsa yang memiliki temperamen panas. Golongan ini mudah disulut rasa dendam atau kecewa. Namun apa yang dialami seseorang bukanlah semata-mata hasil perbuatan sebelumnya. Tidak ada orang yang ditakdirkan menjadi pemarah, pencuri, atau pendusta, misalnya, sebagai kelanjutan dari karma kehidupan yang terdahulu. Manusia bisa mengubah dirinya dalam hidup sekarang.[1]
Asoka, seorang kaisar dari dinasti Maurya yang memerintah India tahun 274-236 SM, semula adalah penguasa yang lalim. Ia mencapai sukses lewat aksi militer yang menelan korban hingga beratus ribu nyawa. Setelah menjadi pemeluk agama Buddha, hilang kebringasannya. Ia menghentikan gerakan ekspansinya, tidak lagi agresif, dan mempraktikkan ajaran agama Buddha. Ia menjadi vegetarian, mendirikan rumah-rumah sakit dan tempat peribadatan, membangun jalan dan irigasi, memajukan perdagangan dan menjamin kebebasan beragama. Di bawah dukungan kaisar ini agama Buddha berkembang pesat ke luar jauh dari India.
Pada umumnya, cinta kasih dan sikap tanpa kekerasan bisa memainkan peranan penting dalam sejarah politik bangsa-bangsa beragama Buddha. Apa pun alasannya, agama Buddha tidak dapat membenarkan pertumpahan darah atas nama agama. Di Tibet pergolakan kebangsaan belum akan reda. Dalam hal kehidupan beragama, Dalai Lama mengganti perang dengan damai. Ia memilih hidup di pembuangan, di Dharmsala, bersama tujuhribuan pengikutnya.
Di antara murid-murid Buddha tidak sedikit yang bringas. Tidak sedikit pun Buddha hilang kesabaran menghadapinya. Ketika Buddha mangkat, ada yang merasa kegirangan. Salah seorang darinya, Subhadda, biksu yang telah lanjut usia ketika ditahbiskan. “Jangan bersedih, jangan meratap,” ujar Subhadda. Kata-kata itu tidak salah. Biksu Maha Kassapa pun mengucapkan hal yang sama. Menurut Maha Kassapa, Bhagawa sendiri sudah menerangkan bahwa segala sesuatu yang kita cintai dan kita senangi, pada suatu waktu kelak pasti akan berubah. Suatu perpisahan atau peristiwa lain akan terjadi dan tak dapat dihindarkan. Tetapi Subhadda melihat dari hal lain. Katanya, “Sekarang kita telah terbebas dari petapa tua itu. Kita selalu cemas kalau Ia berkata: Ini boleh engkau lakukan, itu tidak boleh. Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang tidak kita senangi.”
Sehubungan dengan itu, para biksu senior, lima ratus orang jumlahnya, bersidang di Rajagaha selama musim hujan. “Mari saudara, kita akan membacakan Dharma dan Winaya, sebelum apa yang bukan Dharma mendapat angin dan berkembang, sehingga Dharma akan terdesak, sebelum apa yang bukan Winaya mendapat angin dan berkembang, sehingga Winaya akan terdesak, sebelum mereka yang berbicara tentang yang bukan Dharma menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dharma menjadi lemah, sebelum mereka yang berbicara tentang yang bukan Winaya menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Winaya menjadi lemah.”[2]
Sesuai dengan Winaya, para biksu tidak akan terlibat dalam aksi kekerasan. Selama seorang biksu mematuhi ketentuan-ketentuan Winaya, tidak seorang pun bisa mengubah status penahbisannya. Yang bringas tidak dapat menahan diri dan tidak mampu memenuhi ketentuan Winaya bisa menanggalkan jubahnya.
28 September 1988
[1] Anguttara Nikaya III. 7:61
[2] Culla Vagga XI